Ekspektasi?

dsc03822

“Seberapa besar keyakinanmu bahwa apa yang dilakukan orang tua untukmu adalah tanpa pamrih?”

Ini pertanyaan pertama yang langsung menohok saya. Pertanyaan itu dibuka oleh salah satu rekan saya di masa KKN dulu. Pada suatu perbincangan ringan di basecamp kami yang tiba-tiba menjadi perbincangan berat. Membuat saya tiba-tiba meragukan pikiran yang selama ini saya kira tidak perlu dipertanyakan. Pikiran naif saya kala itu pastilah masih terpengaruh dengan dogma yang selalu diulang dari kita kecil “kami tidak butuh apapun, karena hanya dengan mengetahui anak kami sukses dan berhasil saja kami sudah cukup bahagia”

“Benarkah begitu?”

Sontak otak saya berpikir lagi, berusaha mencerna kata-kata itu lagi. Benarkah? Tentu saja! Mengapa harus dipertanyakan?

“Lantas mengapa banyak orang lanjut usia yang yang mengeluh setelah anak mereka sukses tapi mereka ditempatkan di panti wreda? Bukankah mereka harusnya tidak perlu mengeluh karena dengan mengetahui anaknya telah sukses kan sudah cukup bisa buat mereka bahagia, dimanapun mereka berada?”

Saya terdiam. Hal yang menyangkut kemanusiaan yang tentunya tidak perlu disampaikan dengan explicit, saya kira seorang anak yang tahu diri pasti akan berusaha membalas semua kebaikan orang tuanya. Sebenarnya masih banyak perdebatan mengenai penempatan panti wreda disini, apakah baik atau buruk. But deep deep inside my heart, I’m sure untuk masa-masa akhir hidup manusia, tidak ada yang lebih membahagiakan selain dirawat oleh orang yang kita kasihi. Untuk kondisi ideal secara general, tentunya. Karena kita tidak membahas mengenai kondisi khusus disini.

Dengan tanpa mempedulikan perubahan ekpresi saya, yang sama sekali tidak nyaman dengan pertanyaan tersebut, rekan saya melanjutkan.

“Mereka pasti ingin sesuatu, bukan? Selalu ada motif yang mendasari tindakan seseorang. Tidak bisa tidak. Karena it’s human

They were hoping that someone they love would take care of them until the end of their life

It’s about expectation, rite? Miss understanding, disappointed, started from there. Motivation just because almost all of the people lebih mengandalkan kemampuan telepati mereka yang sayangnya tidak mereka miliki. Mengharapkan hanya dengan isyarat mata, kata hati nurani ataupun kondisi umum masyarakat akan membuat orang lain tahu dan mengerti mengenai apa yang mereka harapkan, padahal tidak ada jaminan untuk hal tersebut.

Komunikasi? Yup. Sayangnya ada banyak boundary terutama di kalangan ketimuran yang masih membuat batasan antara keterbukaan dan kebebasan berbicara dengan sungkan atau kesopanan menjadi blur. Seolah apabila hal tersebut distate secara clear hanya akan menjadi suatu tuntutan dan seolah membuat motif tindakan tersebut adalah tidak sopan atau tidak tulus.

Bicara tentang tulus, saya jadi sedikit tergelitik. Apa sebenarnya definisi mengenai tulus itu sendiri?

Tulus : sungguh dan bersih hati, benar-benar terbit dari hati yang suci, jujur, tidak pura-pura, tidak serong (KBBI).

Masih ada pendapat bahwa tulus adalah tidak mengharap apapun? Lantas bagaimana dengan konsep ekspektasi itu sendiri? Lil bit contradictive, rite?

Well, bagaimana kalau saya state dengan sangat subjektif “Tulus adalah bukan tanpa maksud, tanpa ekspektasi. Tulus adalah jujur dengan segala maksud dan tujuan serta pengharapan yang dikomunikasikan baik secara lisan maupun implisit kepada si pengambil keputusan dari suatu tindakan. Ekspektasi bukanlah kejahatan, karena selama berwujud manusia, kita takkan dapat menghindar untuk itu”

Mudah-mudahan pikiran alam bawah sadar saya cukup bisa menerima konsep tersebut.