The precious one

Terima kasih untuk penguasa yang tanpa batas dan tanpa balas. At the end of this year, we will see you in a couple months. Insya Allah.

Satu yang kami rindukan, yang selalu muncul dalam mimpi-mimpiku. The one that i loved even before i met. Yang selalu meyakinkanku akan pelangi setelah badai. Yang memberiku harapan dalam semua keterpurukan. Terima kasih untuk meniupkan roh untuknya dari seorang lelaki yang tak hentinya mendekapku dalam tidurnya. Tak ada terima kasih yang cukup untukMu.

This is how excited mix curiousity. We as a new-bie parents. Can we do this? Can we provide the best for you? But in another side, the butterfly in my belly really soothing me well. Assured me that everything gonna be alright. I’m not alone anymore. Since i let this guy come into my life. This lil one come by the right time. His time will never gonna be wrong. We must ready. We will be ready.

Aku percaya segala hal yang baik ataupun buruk adalah pelajaran dalam hidup. Untuk bekal kita dalam menentukan keputusan. Kami yang membutuhkanmu, harus memberikan segala akal dan pikiran untuk mempersiapkanmu sebagai manusia bertanggung jawab. Bukan hanya penuntut. Dan bukan pula sebagai pembalas pamrih kami. Segala hal yang menjadi tantangan terbesar bagi kami. Pasti tidak akan mudah, tapi kami percaya pasti ada jalan. Tidak ada yang tidak mungkin dengan niat yang baik.

Empat tahun yang lalu. Time flies. Semakin aku melihat apa yang terbentang di depan, semakin aku yakin akan keputusan besar yang telah kuambil. Selalu ada harga yang harus dibayar. Dan untuk kebaikan di masa datang, kadang harga tersebut tidak murah. Tapi untuk bertemu denganmu, the lil one, i will not mind at all.

Maaf untuk terus mengulang kata-kata yang sama. Terima kasih untuk melahirkanku kembali. Terima kasih untuk mempercayakan jiwa yang baru ke kehidupan kami. Terima kasih untuk semua karunia yang tak berhenti ke kami manusia yang sering tidak tahu diri.

2018, we will be ready. Cant wait to see you.

Keep swimming…

130517

(Originally written date)

Menjelang magrib. Tulisan ini dibuat sambil nunggu si abang berenang bareng adek-adeknya. Berhubung kuping yang infeksi masih belum memungkinkan untun berenang, jadi saya duduk manis aja di tepi kolam. Ngetik.

Ngomong-ngomong soal berenang, saya jadi inget masa-masa dulu pas dia masih belum bisa berenang. Pas kami snorkeling bareng rombongan teman-teman, dia yang paling ga bisa lepas dari life vest. Nempel kayak perangko. Waktu kami di kapal pulang dan gelombang lumayan gede, dia pake acara drama udah kayak orang yang mau mati tenggelam.

Sekali waktu kami berenang di kolam, saya ajak dia belajar mulai berenang. Segala macam alasan dikeluarin. Mulai dari udah bisa ngambang jadi ga butuh berenang lah, lubang idungnya ketutup satu jadi g bs nahan napas lah, etc etc etc.

Jago sih emang ngelesnya, tapi tetap saya paksa. Eh pelan-pelan dari yang mulai bisa sedikit sampe akhirnya jadi setan air sekarang. Masih tetap belum bisa berenang yang pake ambil napas sih, tapi at least udah berenang beneran yang bukan cuman ngambang.

Selidik punya selidik, ternyata kecilnya dulu ada sedikit trauma. Waktu papanya ngajarin langsung diceburin ke air. Itu mungkin yang bikin dia membekas dan parno sama namanya berenang. Kalo yang saya rasakan dulu, papa saya memang ga yang langsung ceburin ke air. Saya digendong di leher dan disuruh lepasin pelan-pelan. Tapi mungkin karena saya aja yang cemen jadi ga berani. Walhasil nempel di punggung papa semacam lintah. Dan sampe kelar kuliah juga masih belum bisa berenang.

Saya baru bisa sedikit demi sedikit dengan mengambil latihan dari instruktur renang. Teknik dasar diajarkan setelah ketakutan akan air dieleminir pelan-pelan.

Mungkin ini yang terjadi dalam hidup. Seringkali kita tidak berani mengambil suatu keputusan karena ketakutan yang sebenarnya hanya buah dari pikiran kita. Kita mencari tahu banyak hal yang justru semakin membuat kita ragu untuk mencoba. Kita berpikir kita mengerti yang sebenarnya justru kita belum mengetahui apa-apa sebelum kita benar-benar mencoba. Pemikiran kita melampaui apa yang kita bisa lihat dan rasakan sehingga membatasi semuanya.

Kita duduk diam berpikir, menimbang, mencari alasan untuk tetap disana. Hingga akhirnya waktu telah habis dan kita baru sadar bahwa kita sama sekali tidak bergerak sedikitpun. Ketika kita baru akan memutuskan untuk bergerak, jarum jam berdentang. Waktu habis dan tiba giliran orang lain untuk mengambil posisi kita. Kita harus pergi dengan tanpa membawa apa-apa.

Di tempat yang lain, ada orang yang bahkan tanpa pemikiran apapun, langsung nyemplung ke kolam. Sebagian ada yang mungkin sial hingga mati tenggelam, Sebagian lagi otodidak learning by doing. Naluri survival yang membuatnya bisa bertahan hingga ke tepi. Atau bahkan tidak hanya ke tepi tapi malah hingga ke tengah lautan.

Apa yang kita lakukan hari ini, akan menentukan apa yang akan terjadi besok dan seterusnya.

Terlalu banyak variable dalam hidup. Tapi yang hampir pasti, dari segala kemungkinan, ada seratus persen kemungkinan untuk gagal dari suatu pemikiran yang tidak dilanjutkan dengan tindakan.

Tribute to the one

130517

(Originally written date)

Kamu. Iya kamu. Siapa lagi yang saat ini selalu jadi wajah pertama yang aku lihat setiap pagi. Untung kamu ganteng. Jadi susah untuk bosennya.

Tanggal delapan bulan ini sudah tujuh bulan hidup baru kita. Kalau kata orang, itu masa-masa adaptasi. Dibilang ga berasa, ya berasa juga sih.

Dulunya masih bisa ngebandel, apa-apa berpikir sendiri. Sekarang itungannya udah dosa. Seorang aku yang kebiasaan mandiri harus memutuskan apa-apa sendiri, jadi harus discuss dulu. Masih sering lupa kalo punya pasangan. Maaf ya sayang.

Happiness is the only thing that doubles when you share it.

That’s true. Kenyang bareng-bareng, laper juga bareng-bareng. Ternyata senang sendiri berasa double kalo berdua. Lucunya, sedih sendiri jadi malah kebagi dua kalo berdua.

Married itu gini kali ya. Ga bisa kabur lagi. Terperangkap dengan susah senang sama-sama.

Kalau kamu lagi ga nyebelin, kadang-kadang aku sampe bingung. Muka kamu jadi ngalah-ngalahin aktor korea kalo lagi tidur. Manis banget kayak gulali. Semoga aku gak diabetes kalo lama-lama begini.

Tapi kalo lagi dateng menjengkelkannya, super duper bawel, nenek sihir versi cowok aja kalah. Nyebelin pake banget.

Tapi ya gitu, cinta, ya gimana lagi.

Sekenal-kenalnya kamu dengan pasanganmu, ternyata masih banyak hal yang tetap baru kamu ketahui waktu sudah nikah. Hal-hal kecil yang kadang menjengkelkan, atau hal-hal besar yang justru menyenangkan. Tergantung sudut pandang mana yang kamu gunakan untuk melihat.

Suami yang Tuhan kasih ke aku ini versi unik. Kadang dia sulit banget konsisten tanggung jawab untuk hal yang kecil, tapi justru super duper tanggung jawab untuk hal yang besar dan prinsipil. Well, yeah. Nobody’s perfect sih, karena aku juga sama. Tapi karena beda sudut pandang, ya cuman versi dia yang bisa aku omongin.

Evaluasi setelah tujuh bulan menikah, hmmm, apa ya. Mimpi kita masih sama. Resolusi aku jadi resolusi kami. Dikalibrasi. Untuk quality time yang harus dibayar mahal saat ini, masih sama. Kami tidak menempatkan financial as our final target. Tapi bagaimana menjadikan keluarga ini adalah keluarga yang berkualitas. Bagi kami dan anak-anak masa depan kami. Targetnya sih harus ada improvement dari kualitas kami secara personal. Tapi realisasinya masih banyak pe-er yang masih harus kami perbaiki. Ibadah masih bolong-bolong, paham dan melakukan kewajiban sebagai suami dan istri, mengakui dan memperbaiki kesalahan, belajar dari kesalahan orang lain et cetera et cetera et cetera…

Dan hmm sepertinya aku harus meralat sedikit omonganku. Kalau aku bilang yang paling penting hanya kebahagiaan aku, kamu dan kita. Well, ternyata aku salah. Kelihatannya ganteng kamu juga akan nambah beberapa persen kalau kamu kaya.

So I don’t mind when you said you will try harder now to make it true, sayang. Aku tidak keberatan untuk menjadi kaya *grin smile

Aku tidak keberatan berjuang bersama. Yang aku keberatan adalah untuk tidak menjadi bahagia.

Terima kasih untuk tujuh bulan ini, sayang. Terima kasih untuk mengajarkan konsep pasangan yang benar-benar demanding each other. Terima kasih untuk konsep dua menjadi satu dalam arti yang sebenarnya.

Ayo belajar bersama untuk hari, bulan dan tahun yang akan datang.

PS : I love you to the Black Hole and back.

Poem-try

120416

It’s you, it’s you, it’s all for you

Everything I do

I tell you all the time

Heaven is a place on earth with you

Tell me all the things you wanna do

I heard that you like the bad girls

Honey, is that true?

It’s better than I ever even knew

They say that the world was built for two

Only worth living if somebody is loving you

Baby, now you do

Jakarta 11:19 am

Lana del Rey – Video Games

Belakangan ini sedang tergila-gila dengan lana del rey. Karakter suaranya cocok banget untuk backsound melamun hingga ke awang-awang. Terutama ketika kepala sedang mumet. Seperti saat ini.

I cried a lot just to make me (feel) better. And the most important thing after that, i will be ready to face the reality.

Jika ini adalah yang terbaik dari Tuhan, i will be ready.

 

“Eleven Hints for Life”

1. It hurts to love someone and not be loved in return.
But what is more painful is to love someone and never
find the courage to let that person know how you feel.

2. A sad thing in life is when you meet someone who
means a lot to you, only to find out in the end that it was
never meant to be and you just have to let go.

3. The best kind of friend is the kind you can sit on a
porch swing with, never say a word, and then walk away
feeling like it was the best conversation you’ve ever had.

4. It’s true that we don’t know what we’ve got until we lose
it, but it’s also true that we don’t know what we’ve been
missing until it arrives.

5. It takes only a minute to get a crush on someone, an
hour to like someone, and a day to love someone-but it
takes a lifetime to forget someone.

6. Don’t go for looks, they can deceive. Don’t go for wealth,
even that fades away. Go for someone who makes you
smile because it takes only a smile to make a dark day
seem bright.

7. Dream what you want to dream, go where you want to go,
be what you want to be. Because you have only one life and
one chance to do all the things you want to do.

8. Always put yourself in the other’s shoes. If you feel that it
hurts you, it probably hurts the person too.

9. A careless word may kindle strife. A cruel word may wreck
a life. A timely word may level stress. But a loving word may
heal and bless.

10. The happiest of people don’t necessarily have the best
of everything they just make the most of everything that comes
along their way.

11. Love begins with a smile, grows with a kiss, ends with
a tear. When you were born, you were crying and everyone
around you was smiling. Live your life so that when you die,
you’re the one smiling and everyone around you is crying.

Unconditionally

110416

(Originally written date)

They say I’m too young to love you

They say I’m too dumb to see

They judge me like a picture book

By the colors, like they forgot to read

I think we’re like fire and water

I think we’re like the wind and sea

You’re burning up, I’m cooling down

You’re up, I’m down

You’re blind, I see

But I’m free

I’m free

 

Well, my boyfriend’s in a band

He plays guitar while I sing Lou Reed

I’ve got feathers in my hair

I get down to Beat poetry

And my jazz collection’s rare

I can play most anything

I’m a Brooklyn baby

I’m a Brooklyn baby

— Brooklyn Baby – Lana del Rey —

Another two years. Lebih dari dua tahun sejak terakhir kali kutinggalkan tanah borneo. Kota kecil dengan jalanan lengang dan segala ketenangannya. Setelah sekian waktu akrab dengan bising dan polusi jakarta, semakin banyak hal yang berbeda dengan diriku, atau tepatnya caraku melihat sekeliling. Aku semakin tak peduli dengan cara orang lain melihatku. Aku semakin bisa memilih untuk melakukan sesuatu bagi diriku sendiri, bukan hanya sekedar karena peduli akan ucapan orang lain.

Kadang di waktu pulang kantor, aku berhenti di tengah jembatan penyebrangan. Hanya sekedar beberapa menit untuk mengamati orang yang lalu lalang dengan beragam perangainya. Mengamati cara mereka berbicara, bersikap, melihat orang lain, berjalan, tertawa, melamun, menyeringai. Semakin terlihat bahwa mereka benar-benar melakukannya sebagian besar berdasarkan apa yang bisa diterima masyarakat. Aku belajar banyak tentang itu. Seperti balita yang melihat bagaimana cara orang dewasa berjalan dan berlari begitu lincah dengan kedua kakinya. Mereka terlihat (terlalu) peduli dengan opini orang lain, sehingga semakin lama semua semakin tidak terlihat berkarakter, semakin sulit melihat sisi karakter manusia yang disebut unik. See my another post – Label.

Mengingatkanku akan film Imitation Game, Christopher says they beat Alan up not because he is smart but its because he is different. “They hate you because you represent something that they feel they dont have.”

Well said.

No wonder, semua orang itu berlomba-lomba menjadi orang yang sama dengan sekelilingnya. Padahal jelas-jelas pengertian menjadi “sama” dengan menjadi “benar” adalah berbeda menurut kamus bahasa indonesia.

“Now, if you wish you could have been normal… I can promise you I do not. The world is an infinitely better place precisely because you weren’t.”

This is one of a message that i try to tell my love one, if you are sure with anything that you will do, just do it. I’m behind you, so dont be afraid to become different. You are wrong if you think this is more about under estimating. I will support you a hundred percent if only you are sure a hundred percent for your decision.

When we feel like we are one unity, i feel like any kind of decision will be impacted to our life. I dont want any regret since we are responsible for the situation. My duty is to be the safiest place in this earth when there’s no more place able to offer that.

I love you unconditionally.

CABE

Saya tiba-tiba ingat salah satu tulisan Juli Triharto. Tentang konsep menghindari emotional eating dengan metode hypnolangsing.

Makanlah ketika kamu benar-benar lapar fisik.

Seringkali otak kita salah menerjemahkan signal yang muncul dalam tubuh kita. Yang umumnya kebosanan, stress, pressure, kemarahan dan berbagai bentuk emosional lain semua diterjemahkan oleh otak sebagai rasa lapar. Kebutuhan akan asupan makanan oleh tubuh.

Metode tersebut membagi level kebutuhan akan makanan dalam skala satu sampai sepuluh. Memfokuskan level mana yang sesuai dengan kondisi real ketika lapar emosional. Melatih bagaimana cara membedakan antara lapar emosional dengan lapar fisik. Bagaimana lapar yang disebabkan oleh tubuh yang butuh makanan atau lapar yang disebabkan hanya oleh sugesti otak yang salah menerjemahkan signal dari reaksi tubuh.

Tapi sebelum ini terlalu jauh, banyak literatur mengenai hypnolangsing yang beredar dan tentunya jauh lebih lengkap daripada yang bisa saya tuliskan disini. Jadi saya tidak akan menulis ulang itu.

Salah satu konsep hypnolangsing adalah, ketika kamu lapar emosional, apapun yang terjadi, makanlah!

Hanya jika yang terjadi adalah lapar emosional. Lantas apa yang terjadi apabila kamu sedang emosi?

Ketika kamu emosi, apapun yang terjadi, marahlah?

Makin lama tulisan ini akan makin terlihat tidak berkualitas -,-“. Kemarahan, selain melibatkan jumlah neuron yang lebih banyak, menyita energi yang tidak perlu, menonaktifkan fungsi salah satu indera dan kemampuan otak untuk berpikir jernih.

Jadi, kesimpulannya. Saya tidak akan marah apabila itu tidak benar-benar penting. Saya juga tidak akan marah untuk orang yang tidak penting. Saya tidak akan merespon stupid statement dengan stupid argument. Silakan memperkaya dirimu dengan pikiranmu sendiri.  Sekian dan terima kasih.

Hari pertama

imagesTanaman itu begitu kecil, layu dan tidak terurus. Tapi tampaknya masih belum akan mati. Setidaknya masih ada semangat hidup disana. Setelah hampir dua tahun aku memilikinya, baru kali ini aku benar-benar mengamatinya. Jika ada foto bentuknya sebelum berpindah tangan hingga saat ini mengisi sudut ruangan kecil di dapur, mungkin tak ada yang percaya itu masih sosok tanaman yang sama. Sebuah bambu jepang dalam pot tanah liat kecil.

Aku berpindah tempat tinggal dua kali, setidaknya dalam perusahaan yang terakhir. Dan si bambu lebih sering lagi. Dari sudut ruangan kamar yang sempit dengan segala rupa barang di dalamnya, sisi ruang tamu tempatku menghabiskan sebagian besar waktu di rumah, hingga dekat wastafel area dapur yang lembab. Dia masih bertahan dengan tuannya yang labil. Tidak seperti manusia lain di sekitarku. Harus kuakui, ketahanan tanaman memang jauh lebih hebat daripada manusia. Haha. So Ironic.

Pagi ini, aku bangun tanpa alarm. Baru akan kuselamati diriku karena kupikir prestasi yang jarang aku bisa bangun mendahului bunyi alarm, tapi ternyata setelah kucek, kuurungkan niatku. Alarm memang belum disetel. Jadi, sama sekali bukan hal yang luar biasa.

Aku duduk berpikir. Mencoba mereview kembali hasil pemikiranku semalam. Mengenai masukan seorang teman yang cukup masuk akal. Tentang pemograman kembali pola pikir, responsibility akan segala hal, memulai kedisplinan dari hal yang kecil. Harus kumulai secepatnya. Tapi apa hal yang bisa aku jadikan titik tolak?

Hmm, apakah cukup tidak kreatif apabila aku benar-benar menjiplak ide tanaman itu? Tidak ada ide lain yang terpikirkan untuk saat ini. Yang cukup fleksibel, bisa diaplikasikan setiap hari tanpa perlu aku mencari alasan untuk mangkir dari ketidakdisiplinanku. Well, selama belum ada hak ciptanya, aku kira kamu masih akan memaafkanku ya, teman(?)

Tak perlu waktu lama, aku bergegas menjadikan hari ini sebagai day one. Kuputuskan tak perlu alarm untuk itu, biarkan otakku yang bertanggung jawab untuk menjadikannya program. Sekali sehari hingga sembilan puluh hari ke depan pada waktu yang sama. Dan aku menambahkan syaratnya, aku harus menikmatinya bukan sebagai beban. Harus.

Untuk hari pertama, awalnya aku yang hanya berniat menyiraminya, urung. Air di dalam pot masih cukup menggenang, tak perlu ditambah lagi. Aku hanya memerciki daun-daunnya. Ternyata banyak yang menguning. Dan benar saja, batangnya banyak yang membusuk dan menghitam. Entah apakah itu masih bisa kembali hijau lagi. Kusingkirkan daun-daun mati tersebut, kurapikan daun-daun yang tersisa. Kubersihkan genangan air di dasar pot. Mudah-mudahan batang-batang yang hitam itu bisa kembali sehat. Kuletakkan pot di dekat jendela, sehingga sinar matahari bisa mencerahkan kembali daunnya yang pucat.

Kembali sehat ya sayang, sampai jumpa besok pagi 🙂

Ekspektasi?

dsc03822

“Seberapa besar keyakinanmu bahwa apa yang dilakukan orang tua untukmu adalah tanpa pamrih?”

Ini pertanyaan pertama yang langsung menohok saya. Pertanyaan itu dibuka oleh salah satu rekan saya di masa KKN dulu. Pada suatu perbincangan ringan di basecamp kami yang tiba-tiba menjadi perbincangan berat. Membuat saya tiba-tiba meragukan pikiran yang selama ini saya kira tidak perlu dipertanyakan. Pikiran naif saya kala itu pastilah masih terpengaruh dengan dogma yang selalu diulang dari kita kecil “kami tidak butuh apapun, karena hanya dengan mengetahui anak kami sukses dan berhasil saja kami sudah cukup bahagia”

“Benarkah begitu?”

Sontak otak saya berpikir lagi, berusaha mencerna kata-kata itu lagi. Benarkah? Tentu saja! Mengapa harus dipertanyakan?

“Lantas mengapa banyak orang lanjut usia yang yang mengeluh setelah anak mereka sukses tapi mereka ditempatkan di panti wreda? Bukankah mereka harusnya tidak perlu mengeluh karena dengan mengetahui anaknya telah sukses kan sudah cukup bisa buat mereka bahagia, dimanapun mereka berada?”

Saya terdiam. Hal yang menyangkut kemanusiaan yang tentunya tidak perlu disampaikan dengan explicit, saya kira seorang anak yang tahu diri pasti akan berusaha membalas semua kebaikan orang tuanya. Sebenarnya masih banyak perdebatan mengenai penempatan panti wreda disini, apakah baik atau buruk. But deep deep inside my heart, I’m sure untuk masa-masa akhir hidup manusia, tidak ada yang lebih membahagiakan selain dirawat oleh orang yang kita kasihi. Untuk kondisi ideal secara general, tentunya. Karena kita tidak membahas mengenai kondisi khusus disini.

Dengan tanpa mempedulikan perubahan ekpresi saya, yang sama sekali tidak nyaman dengan pertanyaan tersebut, rekan saya melanjutkan.

“Mereka pasti ingin sesuatu, bukan? Selalu ada motif yang mendasari tindakan seseorang. Tidak bisa tidak. Karena it’s human

They were hoping that someone they love would take care of them until the end of their life

It’s about expectation, rite? Miss understanding, disappointed, started from there. Motivation just because almost all of the people lebih mengandalkan kemampuan telepati mereka yang sayangnya tidak mereka miliki. Mengharapkan hanya dengan isyarat mata, kata hati nurani ataupun kondisi umum masyarakat akan membuat orang lain tahu dan mengerti mengenai apa yang mereka harapkan, padahal tidak ada jaminan untuk hal tersebut.

Komunikasi? Yup. Sayangnya ada banyak boundary terutama di kalangan ketimuran yang masih membuat batasan antara keterbukaan dan kebebasan berbicara dengan sungkan atau kesopanan menjadi blur. Seolah apabila hal tersebut distate secara clear hanya akan menjadi suatu tuntutan dan seolah membuat motif tindakan tersebut adalah tidak sopan atau tidak tulus.

Bicara tentang tulus, saya jadi sedikit tergelitik. Apa sebenarnya definisi mengenai tulus itu sendiri?

Tulus : sungguh dan bersih hati, benar-benar terbit dari hati yang suci, jujur, tidak pura-pura, tidak serong (KBBI).

Masih ada pendapat bahwa tulus adalah tidak mengharap apapun? Lantas bagaimana dengan konsep ekspektasi itu sendiri? Lil bit contradictive, rite?

Well, bagaimana kalau saya state dengan sangat subjektif “Tulus adalah bukan tanpa maksud, tanpa ekspektasi. Tulus adalah jujur dengan segala maksud dan tujuan serta pengharapan yang dikomunikasikan baik secara lisan maupun implisit kepada si pengambil keputusan dari suatu tindakan. Ekspektasi bukanlah kejahatan, karena selama berwujud manusia, kita takkan dapat menghindar untuk itu”

Mudah-mudahan pikiran alam bawah sadar saya cukup bisa menerima konsep tersebut.

Its about faith, dude

gummy-red-hot-chili-peppers-2Tidak ada yang lebih sulit daripada memulai kebiasaan yang telah lama ditinggalkan. Kadang ada terlalu banyak hal di dalam pikiran tapi tak semua bisa tertuang dalam tulisan. Segalanya hanya mengawang dan mengendap menambah beban pikiran. Unfinished business.

Dapat dibayangkan jika itu terjadi bertahun-tahun lamanya?

Saya adalah wanita. Setidak-tidaknya covernya memang begitu. Banyak analogi wanita identik dengan sisi lembut dari seorang manusia. Lemah dan rapuh, malah. Well, secara fisik memang tidak terpungkiri. Tapi kekuatan tidak semata hanya fisik. Internal factor memegang peranan lebih besar dalam penggerak terhadap sesuatu. Termasuk makhluk hidup. Tergantung motivasi. Dan tulisan disini tidak untuk memaparkan faham feminisme di seberang maskulin. Tulisan ini hanya sekedar persepsi wanita secara khusus. Dan berhubung tidak etis membicarakan orang lain dan mengupas dirinya secara tuntas seolah kita tahu sejarah hidupunya secara keseluruhan, maka ditempatkanlah saya sebagai si penulis sekaligus sebagai objek nara sumber. Mengenai subjektifitas? Tidak ada yang bisa menjamin. Karena dalam kenyataannya, meski kita mengambil sudut pandang orang ketiga dengan metode survey atau analisis statistik dengan nara sumber dari seorang expert sekalipun. Tidak ada yang dapat menghindari subjektifitas. Kecuali robot. Dan saya belum pernah menemui biografi seorang robot yang dikupas secara tuntas.

Dan seperti intro yang disampaikan di awal. Menulis adalah suatu hal yang sudah hampir sepuluh tahun saya tinggalkan. Dan sekarang kondisinya begitu timpang. Jika dulu menulis begitu mudah, tapi mencari bahan sangatlah sulit. Sekarang yang terjadi kebalikannya. So many things in my mind, but I’ve no idea how to describe it completely.  So I’ll try, by the random way. Do not complain, just follow the story. But if u can’t accept it, just leave it. No hard feeling.

Manusia sebagai makhluk sosial seringkali terlampau sosial. Membagi banyak hal termasuk hidupnya ke sekelilingnya. Menempatkan keputusan terbesar yang harusnya diambilnya sendiri ke tangan orang lain. Selama masih bisa bertanggung jawab sepenuhnya akan hal itu harusnya itu tak kan menjadi masalah. Tapi yang seringkali terjadi adalah pengalihan tanggung jawab. Menempatkan posisinya sebagai korban atas sebuah keputusan yang dengan secara sadar diambil sendiri, oleh dirinya sendiri. Manusia terlalu picik untuk bertanggung jawab.

Aku adalah manusia yang tumbuh dengan masalah. Bahkan sebelum kehadiranku pun masalah sudah jadi konsumsiku di dalam janin. Aku katakan itu dengan bangga. Karena sampai saat ini aku tidak pernah punya niat bunuh diri atau mengambil shortcut untuk hilang akal atau semacamnya. Tanggung jawab atas diriku masih terlampau besar. Aku tak tau apakah memang ini adalah bagian dari rancanganNya atau hanya sekedar hubungan sebab akibat. Makin lama kau berkecimpung dengan hal yang sama berbanding lurus dengan kemampuan intuisimu menangani sesuatu. Jika itu terdengar seperti aroganitas, mungkin memang begitu. Karena subjek memang tidak bisa objektif. Sejarah ditentukan oleh penulisnya. So if you wanna know more, you have to follow my rule.

Oke, skip.

Semalam saya sempat berbincang dengan salah satu teman lama. Ngalor ngidul. Dari ngomongin saya, ngomongin dia, hingga kehabisan bahan masing-masing dan lanjut jadi ngomongin orang lain. Sepertinya untuk yang terakhir itu memang habitnya manusia yang tidak bisa dihindari. Infotainment mode : ON.

Ceritanya teman kami si A, perempuan muslim. Dan ada juga teman kami si B, lelaki nasrani. Kalau informasi yang kami dengar benar, mereka married beda agama. Dunno apakah dengan pernikahan dua kali dengan agama masing-masing ataukah dengan sekali pernikahan ikut ritual salah satu agama. Tapi yang pasti wedding ceremonynya sudah berlangsung dan cukup meriah.

We talked about married and religion. About mereka yang married beda agama. Dan otomatis karena saya, teman saya dan objek teman kami salah satunya beragama sama, jadi dasar pemikiran ga jauh-jauh dari literatur agama kami sendiri. Saya sama sekali bukan orang alim yang expert dalam agama. Jadi literatur disini otomatis bukan seputaran ayat-ayat atau kisah-kisah kitab. Teman lama saya berpendapat apa yang dilakukan mereka adalah keliru, karena apabila dia orang beragama, dia pasti tidak akan melakukan apa yang jelas-jelas dilarang oleh Tuhannya. Tapi saya punya pemikiran lain.

Untuk analogi yang mungkin tidak semua orang akan menyetujuinya. Saya lebih menghargai suami yang keras kepala, bandel, melanggar aturan-aturan bersama dalam suatu rumah tangga, tapi tak pernah berselingkuh jika dibandingkan suami yang penurut, taat semua aturan baik di rumah tangga maupun masyarakat, tapi tiba-tiba berselingkuh dan cerai meninggalkan keluarganya. Saya tidak pernah mengalami dan tidak ingin ada dalam posisi keduanya. Tapi jika harus memilih, saya akan lebih bisa menerima yang pertama. Karena pemikiran konvensional saya masih dengan faham yang paling tradisional mengenai rusuk yang hilang adalah satu, bukan banyak. Dan rusuk adalah salah satu anggota tubuh yang tidak dapat dipermainkan atau digonta-ganti seperti puzzle.

Saya masih melihat pernikahan adalah suatu perjanjian yang paling agung antara manusia dengan disaksikan oleh penciptanya. Dan apabila ada pertanyaan apakah saya pernah mengalami pengalaman mengenai perselingkuhan, saya harus jawab ya saya pernah. Sebagai objek maupun sebagai subjek. Karena sekali lagi, saya harus menghindari penggunaan kata “korban” dan “pelaku” terhadap segala tindakan yang masih dipicu oleh kesadaran sepenuhnya sebagai manusia.

Begitupun mindset saya mengenai agama dan keyakinan. Itu adalah puncak keagungan dalam diri manusia. Tidak dapat dirubah karena pihak lain selain oleh si pengambil keputusan itu sendiri. Apabila ada persimpangan ekstrem antara convert karena pasangan atau married beda agama, yang terakhir masih lebih bisa diterima oleh hati nurani saya.

Dan please bedakan konsep convert disini. Karena batasannya hanya untuk convert dengan alasan dan kondisi yang dianalogikan di atas. Saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai convert dalam kondisi yang lain karena itu bukan main topic yang dibicarakan disini.

So, malam tadi ditutup dengan tanpa adanya closing statement. Conclusion dari semua fakta dan opini di kepala kami. Tapi bukan berarti kami tidak puas. Karena memang saat itu mungkin bukan waktu yang tepat untuk menjawab semuanya. Mungkin nanti, atau malah tidak sama sekali.